Di Wonosobo tentu kita
mengenal kata preman, tetapi tahukah dari mana kata itu berasal?
Preman. Kata itu begitu
identik dengan kota Medan. Reputasi preman telah bermula sejak zaman kolonial
Belanda di awal abad 20. Mereka adalah kuli non-kontrak atau tenaga lepas yang
dibayar harian. Tuan-tuan kebun Belanda (Planters)
yang menjadi penguasa tanah Deli menyebutnya “Vrije Man” yang berarti orang bebas. Meski
dipekerjakan, paraVrije
Man acap kali
menjadi gangguan bagi tuan kebun Belanda dalam menjalankan usahanya.
ilustrasi |
Vrije Man muncul sebagai pembela kuli kontrak
asal Jawa, Tionghoa, dan India yang disiksa mandor kebun atas perintah tuan
kebun. Beraneka keresahan ditebarkan oleh Vrije Man. Merusak
tanaman kebun, minum-minum sampai mabuk dan memancing keributan, hingga
menantang berkelahi merupakan cara Vrije Manunjuk taji
terhadap penguasa kebun.
Sebagai
tanda balas jasa, para Vrije Man digratiskan untuk mengambil
makanan dan minuman di warung. Dari konteks inilah istilah Vrije
Man berubah
menjadi “preman”. “Ia menjadi akronim untuk ‘pre minum dan makan’. Pre
disingkat dari prei yang asalnya darivrije.
Bebas minum dan makan,” RedTawon
Pada
masa mempertahankan kemerdekaan, preman turut serta dalam perjuangan revolusi.
Peristiwa Jalan Bali pada Oktober 1945 (baca: Lencana
Merah Putih Dilucuti Pejuang Medan Pasang Badan) menjadi salah satu
medan juang preman Medan melawan penjajah. Di masa ini, kelompok preman pejuang
yang paling terkenal adalah Laskar Naga Terbang pimpinan Timur Pane.
“Anggota-anggota dari pasukan Naga Terbang ini kebanyakan dari anak-anak Medan,
yang mulanya berasal dari jagoan-jagoan kota Medan yang dibina oleh Matheus
Sihombing,” #Sumber Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera
dalam Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara.
Memasuki
tahun 1950-an, eksistensi preman masih cukup diterima di tengah masyarakat.
Wali Kota Medan, Haji Moeda Siregar (menjabat 1954-1958) bahkan pernah
memberikan penghargaan kepada preman. Saat itu, preman Medan berperan
mendamaikan perkelahian antarsuku yang terjadi antara pemuda Aceh dengan pemuda
Batak. Preman juga membantu menindaklanjuti pengaduan masyarakat yang mengalami
pencurian atau perampokan. Preman akan mencari pimpinan copet dan rampok
setempat agar barang-barang yang dicuri lantas dikembalikan kepada pengadu.
Pada
masa pemerintahan Sukarno, preman terhimpun ke dalam organisasi pemuda bernama
Pemuda Pancasila. Pemuda Pancasila didirikan sebagai organisasi sayap Partai Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang dibentuk Jenderal Abdul Haris
Nasution pada 28 Oktober 1959. Pemuda Pancasila secara formal diresmikan dalam
kongres IPKI tahun 1961.
“Pemuda
Pancasila dihadirkan untuk mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 ketika banyak
kelompok pemuda saat itu beralih mendukung Nasakom,” tulis Loren Ryter, “Pemuda
Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto′s Order” dalam Violence
and The State in Suharto′s Indonesia suntingan Ben Anderson.
“Ketika
Presiden Sukarno menyerukan mobilisasi umum untuk pembebasan Irian Barat,
Pemuda Pancasila mendukungnya dengan mempersiapkan diri bertempur sebagai
milisi,” tulis Ryter. Mereka tergabung ke dalam front Pasukan Djibaku Irian
Barat (PDIB).
Effendi
Nasution alias Pendi “Keling”, adalah preman legendaris dan mantan petinju yang
dikenal sebagai pemimpin Pemuda Pancasila kota Medan. Menurut Pendi Keling,
mencuri, merampok, dan tindak kejahatan lainnya haram bagi preman.
“Banyak
cara terhormat, yang penting preman itu bukan bandit. Misalnya, menjaga
keamanan bandar dan arena perjudian, menjadi pengawal pengusaha kaya, menjaga
pusat-pusat keramaian dan bioskop. Dan sesekali mendapat order memukuli jagoan
pengusaha lain,” kata Pendi Keling menjelaskan cara preman menghidupi diri, dikutip
Kompas.
Pada
nyatanya, prahara 1965 menandai penyalahgunaan kekuasaan dan kekuatan yang
dilakukan oleh preman. Di Sumatera Utara, oknum preman dalam Pemuda Pancasila
menjadi pelaku penjagalan kaum komunis. Mereka membersihkan orang-orang yang
berafiliasi dengan PKI sampai ke akar-akarnya. “Semua sayap PKI menjadi target
mereka: Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan lembaga masyarakat
Tionghoa (Baperki),” tulis Ryter.
Seiring
waktu, di Medan makin banyak preman yang tergabung dalam perkumpulan berbasis
organisasi kelompok pemuda. Aktivitasnya pun kian rapat dengan dunia kriminal.
Pertarungan dan bentrokan antarorganisasi pemuda kerap kali terjadi. Mulai dari
masalah sepele hingga rebutan lahan keamanan bisa memicu kerusuhan anarkis.
Dari pertikaian antarpreman yang banyak terjadi, tak pelak, masyarakat sipillah
yang paling dibuat resah.
Pada
paruh kedua tahun 1980, premanisme menjadi satu dari 53 jenis kejahatan yang
setiap 24 jam harus dilaporkan Polda Sumatera Utara ke Mabes Polri. #Sumber
Majalah Historia/ Red.Tawon
No comments:
Post a Comment